0

Clairaudience

Posted by Helmi Shemi on 10.15
Matanya tetap terbuka ketika gue bangun tidur. Seorang gadis muda berusia 17 - 18 tahun berparas sensual yg duduk di sebelah gue di dalam bis antarkota itu. Padahal sekarang masih jam 2 dini hari. Seorang gadis yg senyumnya manis, tapi justru itu yg membuat gue agak menghindarinya -mulut gue ternganga saking takjubnya-. Gue malu. Gue mencoba tersenyum kepadanya dan dia membalas. Tapi ada yg aneh dan selalu terbesit di benak gue, senyumnya mengandung ketakutan. Bukan, tepatnya gelisah, terutama ketika gue tidak bertatapan langsung. Ada sesuatu yg disembunyikannya. Entah apa itu.

Bis masih melaju di tengah udara dingin kota Bandung. Gue meniup - niup udara hangat ke tangan. Gue melirik gadis itu. Selama separuh hari ini gue masih belum mengenal namanya. Gue beranikan diri bertanya dengan nada lemah dan bergetar krn dinginnya udara "Hai, kita belum berkenalan kan? Siapa nama Anda?". Gadis itu membalas dgn senyuman, kali ini senyumnya lebih merekah.

"Reina, senang berkenalan!".
"Mihel, senang berkenalan jg"
"Mihel? Nama yg bagus. Dari luar negeri ya?"
"Oh bukan, hahaha. Saya dari Jakarta. Anda?"
"Sama. Oh maaf, apakah saya menganggu tidur Anda?"
"Oh tidak, tidak. Saya hanya terbangun"
"Benarkah? Tapi saya merasa telah mengganggu Anda"

Dalam hati gue sebenarnya benar kalau dia telah mengganggu tidur gue, setidaknya karena sikapnya. Gue bahkan ingat kadang nafasnya tersengal krn terkejut oleh sesuatu. Tapi gue pikir tentunya bukan krn hantu atau mahkluk halus semacamnya. Lalu oleh apa? krn apa? Gue mencoba bertanya.

"Oh ya Reina, apakah lo sakit? Ah maafkan gue memakai bahasa nonformal"
"Ga apa, toh kita seumuran kan. Sakit? Tidak sama sekali"
"Tapi gue pikir lo sakit, muka lo agak pucat dan bagi gue terkesan lo menyembunyikan sesuatu"
"Begitu ya? Tapi gue ga sakit, juga tidak ada masalah qo. Terima kasih sudah khawatir, tapi gue baik baik saja"

Reina meneguk botol minumnya, gue hanya tersenyum. Tapi tetap saja ada yg aneh. Sekalipun gue mencoba untuk tidur kembali, tetap saja tidak bisa. Kadang gue pura - pura tidur untuk mengamati tingkah anehnya. Berbeda dgn 20 penumpang lainnya, sangat tidak lazim ketika mata gue menangkap Reina menutup telinganya. Tidak ada apapun menurut gue yg mengganggu pendengaran. Aneh. Gue menatap kebelakang, seorang bapak - bapak setengah tua tidur sambil menggunakan headset. Sepertinya dia menikmati alunan lagu. Gue pikir mgkn gue jg bisa tidur nyenyak dgn cara spt itu. Gue mengambil earphone dari dalam jaket kulit dan gue sambungkan dgn i-pod berwarna hijau milik gue. Gue memilih lagu Zeke & Popo. Tak lama ketika gue mendengar lagu itu Reina berkomentar

'Mighty Love-nya Zeke & Popo ya?"
"Oh iya. Maaf kalo suaranya terlalu besar"
"Tidak apa, tapi bisa dikecilkan sedikit?"
'Oh baiklah"

Gue terkejut. "Terlalu besar?" Gue mencerna kata - kata itu berkali - kali. Lho gue kan pakai earphone, suaranya ga mgkn keluar. Rusakkah? Tapi tidak ketika gue mengecek kabelnya. Lalu bagaimana Reina bisa tahu dgn pasti kalo lagu yg gue dengar adl Mighty Love? Pertanyaan itu terus berputar di kepala gue. Gue melihat Reina, dia masih menutup telingannya. Apa yg sebenarnya terjadi? Gue mematikan i-pod dan bertanya.

"Telinga lo sakit ya?"
"Tidak, kan tdai gue udah bilang, gue ga apa - apa"
"Darimana lo tau kalo yg gue denger adalah Mighty Love?"
"Oh itu, itu hanya menerka. hahaha" Kata Reina dgn ekspresi wajah yg berubah panik
"Tidak, pasti ada yg salah dan ini berhubungan dengan pendengaran lo"

Reina hanya terdiam. Sepertinya kata - kata gue tepat dalam perbincangan kali ini. Gue terus menatap dia. Tidak gue lepaskan pandangan gue sedikitpun.

"Clairaudience, lo tau hel?
"Clar audenc? apa itu?
"Clairaudience" Koreksi Reina

"Ini semacam sixth sense. Pendengaran seorang Clairaudiencer bisa 10 kali -bhkan lebih- dari manusia normal. Gue bisa mendengar suara - suara berfrekuensi kecil"

Gue hanya terdiam mendengar penjelasan ttg indera ke enam yg dimiliki Reina, pantas dia selalu menutup telingannya. Ini hanya mimpi, pikir gue. Tapi kalo ini mimpi knp sungguh aneh? Tidak tidak, ga mungkin ada sixth sense. Reina pasti hanya berlebihan.

Sekelibat pertanyaan memenuhi otak gue. Semakin gue pikir jauh, semakin terlihat kebohongan. Tapi ketika pandangan gue menuju Reina, seakan semua terhapus. Ini nyata, lagu itu buktinya. Benar - benar dini hari yg membuat gue terkejut. Tapi biarlah, gue ga mau peduli. Toh dia orang lain, bukan siapa - siapa gue kan.

Gue beranjak untuk mencoba tidur. Memasang kembali earphone dan mendengar lagu. Masih terlalu dini hari, hotel yg akan gue tinggali sementara waktu pun masih sangat jauh. Tapi dia selalu mengganggu gue, ya Reina. Dia bersuara terkejut berkali - kali. Membuat gue jengkel. Gue butuh tidur dan ga mau di ganggu. Sial, knp gue harus ketemu hal aneh semacam sixth sense sih.

"Di Udara, Efek Rumah Kaca"

Gue melirik Reina. Tatapan gue kali ini menunjukan kalo gue benar - benar terganggu.

"Oh maaf ya, gue udah ganggu tidur lo"
"Ya, sangat mengganggu, gue ga bisa tidur"
"Iya maaf, gue akan berhenti untuk berbicara deh"
"Lagipula apa yg lo dengar dari sixth sense lo sih?" Gue bertanya mendesak
"Ehm....tau tragedi Bandung Lautan Api kan? Gue denger suara arwah mereka"
"Hmpt, bercanda lo" Gue senyum meragukan
"Gue takut, dan gue ga tau harus apa. Clairaudience ini terlalu menyiksa gue"
"Ya lebih baik lo tidur fokusin untuk tidur dan hanya untuk tidur, oke?" Gue semakin resah
"Iya deh. Makasih ya"
"Ya" Jawab gue singkat

Reina menuruti perkataan gue. Dia mencoba untuk tidur dan tidak mengganggu gue. Hal ini berlangsung sekitar sepuluh menit sebelum dia tampak kedinginan oleh suhu bis. Badannya bergerak mencari kehangatan. Gue tahu itu dan gue sengaja menggenggam tangannya. Reina melirik.

"Tidurlah dan jangan salah paham dulu ya. Gue cuma kasihan sama lo"

Reina mengangguk. Dan ternyata dia wanita yg cukup agresif. Dia memeluk gue. Gue kaget. Pikiran mesum, iba dan grogi bercampur jadi satu di benak gue. Tapi gue biarin dia meluk gue. Toh yg penting gue bisa tidur. Dan bis pun melaju menuju terminal. Di sanalah gue akan turun dan selamat tinggal gadis clairaudience.

Gue membuka mata, agak berat. Tapi setidaknya udara hangat terasa. Ternyata gue sudah sampai di terminal. Mata gue masih kuyuk, ketika gue lihat ke samping ternyata Reina sudah ga ada. Gue tersenyum simpul. Rasanya satu malam itu hanya bagaikan mimpi. Waktunya untuk menuju hotel.

Perjalanan gue ke Bandung ini hanya untuk mengisi liburan sebelum gue kuliah nanti. Gue suka kota ini. Tadinya gue mau berpergian sama temen - temen gue, tapi sesekali memanjakan diri tentunya tidak salah kan. Yah walopun jujur, harus gue akui keluarga gue udah di Bandung sejak seminggu lalu. Mereka tinggal di hotel yg sama. Kebetulan hotel itu milik bokap gue.

Hotel Surya. Hotel bintang 4 yg di bangun bokap gue pada tahun 2004 . Hotel ini sendiri cukup ramai di kunjungi turis. Hotel ini sangat strategis, di arah barat daya hotel ini ada danau buatan yg sangat indah ketika sunset. Di arah utara, sedikit mendaki bukit kecil, di sana ada pertokoan yg menjual banyak buah tangan. Sementara di tenggara ada pusat perbelanjaan.

Gue masuk ke hotel dan segera menuju resepsionis. Badan gue terasa sakit, hasil tidur semalaman di bis. Di resepsionis ada seorang wanita yg juga sedang check in. Tampaknya dia jg lelah. Pakaian gue kusam bgt, bau keringat. Hormon gue masih belum stabil.

"Oh mas Mihel ya. Bapak sudah nunggu mas di ruang makan" Pelayan wanita berlogat Jawa menyapa gue, gue hanya tersenyum dan memperhatikan wanita yg ada di samping gue.

"Lho, Mihel ya?" Sapa wanita itu.
"Reina?! haha" Gue tersenyum kaget.

Sungguh gue ga menyangka takdir gue belum habis. Semoga aja ga ada masalah di hotel ini dgn adanya clairaudiencer yg satu ini.

"Menginap disini?"
"Iya, hotel ini punya bokap gue"
"Wah asyik dong, bisa diskon nih. hahaha bercanda Hel"
"Well, gue cape bgt nih. Lo dikamar brp?"
"Kamar 405. Lo kamar brp?"
"Ehm, bentar ya. Gue belum ambil nomer kamar"

Setelah gue sedikit berbincang dgn resepsionis dan mengambil nomer gue kembali bicara sama Reina.

"Nomer brp?"
"Kamar 326"
"Oh...yah jauh juga ya"
"Hahaha, maksud lo? Oh ya, telinga lo udah ga apa?
"Berkat lo gue udah jauh lebih baik. Makasih ya Hel" Reina tersenyum manis
"I...Iya sama - sama. Well, ke kamar yuk. Kita pasti lelah kan semalaman di bis. Gue anter ke kamar lo" Gue terbata menghadapi senyum Reina, wow! Dia sungguh cantik.

Gue berjalan mengantar dia ke kamar. Rasanya kalo dia tanpa clairaudiencenya gue jadi suka terhadapa dia, tepatnya mengaggumi. Setelah berbincang sebentar sebelum menutup pintu kamarnya, gue dan Reina bertukar no hp. Beruntung bisa berkenalan dgn gadis cantik, atau tidak -mengingat dia seorang clairaudience.

Gue segera menuju kamar, berbaring di atas tempat tidur. Rasanya tulang punggung gue jadi menempel dgn kelembutan kasur ini. Gue menelepon bokap, memberi kabar kalo gue akan menemuinya sore nanti. Dan mata gue pun terpejam. Gue lelah.

Sore itu gue bertemu bokap dan ny
okab gue. Gue cuma berbincang biasa dan menonton berita sampai kurang lebih jam 6 sore.

Sunset, ini waktu tepat. Gue berpikir untuk mengajak Reina, tapi tidak jadi. Gue egois untuk menikmati sendirian. Ketika gue sampai di sana langit terihat begitu mewah. Berwarna kuning dan oranye yg berpadu dgn warna putih dari awan. Danau pun mencermikan indahnya langit sangat itu. Memantulkan sinar bagai cermin. Istimewa, sungguh istimewa.

"Ahhh......" Teriakan seseorang terdengar tidak terlalu jauh dari tempat gue. Gue menuju sumber suara. Dgn setengah berlari gue mendatangi sumber suara.

"Reina?! Lo ngapain disini?" Kata gue sambil bantu Reina berdiri
"Mi... Mihel? Gue lagi liat sunset tapi gue kepeleset. Tanahnya licin"
"Ya ampun...Ya udah kita pulang aja yuk. Kalo terlalu lama disini bisa kemaleman. Lagian jalannya cukup jauh"
"Iya, makasih ya Mihel" Kata Reina merasa bersalah

Kami berdua berjalan bersama. Melewati banyak pohon pinus yg menjulang tinggi. Beberapa diantaranya juga ada pohon kelapa dan pohon rambutan. Lahan ini adalah resmi milik penduduk di setempat. Tempat ini tidak begitu ramai karena tidak banyak turis yg mengetahui. Ini dirahasiakan penduduk setempat. Gue beruntung mendapat izin krn pernah membantu membuat jembatan beberapa tahun lalu disini.

Tempat ini bisa dibilang semi-hutan. Banyaknya pohon dan danau yg indah. Tidak salah lagi bila gue bilang begitu. Tempat yg bagus ketika pagi dan sore hari. Tapi bisa jadi buruk ketika malam. Seperti sekarang. Gue dan Reina berjalan lambat krn kaki Reina terluka. Dan jalan keluar masih panjang. Gelap tanpa lampu, bodohnya gue lupa membawa senter. Cuaca makin dingin berbaur dengan suara jangkrik dan serangga lainnya. Tidak ada rumah penduduk, hanya semi-hutan.

"Mihel, bisa berhenti sebentar"
"Knp Rein? Udah malem"
"Tolong, hanya sebentar"

Gue berhenti berjalan dan melihat ke Reina, dia terduduk di tanah. Gue perhatikan kakinya. Semakin biru, darahnya seperti kekurangan oksigen. Mgkn ini lembam krn belum sempat pertolongan pertama.

"Ya Tuhan. Lo nahan sakit dari tadi?"
"Iya, aduh perih banget"
"Haah...udah sini gue tolong. Lo ini. Lagipula knp lo bisa masuk sini sih? Kan cuma orang tertentu"

Gue mengambil saputangan dan merobeknya menjadi perban.

"Gue bilang kalo gue mencari lo"
"Cari gue? Qo lo tau gue diluar"
"Clairaudience, saat lo pamitan izin keluar sama bonyok lo, gue kebetulan lg lewat setelah melihat - lihat keadaan hotel"

Gue menarik nafas -Selalu itu- dan menekan kaki Reina yg lembam.

"Aduh, pelan - pelan Hel"
"Tenang aja, bentar lagi selesai"

Setelah mengurut kaki Reina, gue membalutnya dgn sapu tangan gue tadi. Gue berniat jalan lagi, tapi tidak mgkn dgn keadaan Reina skrg. Kami berbincang menghabiskan waktu. Dingin dan lapar. Tapi kami tetap berbicara. Gue sedikit cuek krn masih tidak menyukai Clairaudience.

"Mihel, lo dengar?"
"Apa?"
"Suara langkah kaki, tapi terasa berat. Satu orang, tidak, ada dua"
"Bagus dong, kita bisa minta bantuan"

Reina tersenyum, tapi berubah begitu cepat. Matanya seakan menunjukan ekspresi kaget.

"Kita harus keluar dari sini Mihel, orang - orang tersebut membawa senjata api. Mereka baru membunuh penjaga tempat ini"
"Hah?! Mana bisa gue percaya sama lo. Mgkn aja lo ngarang"
"Tidak, ini serius. Gue kan punya Clairaudience"
"Jgn bercanda, gue udah muak sama semua itu. Lo itu menyusahkan gue tau!" Gue membentak Reina
"Mihel, tolong percaya. Gue minta maaf untuk itu semua. Tapi kita harus cepat"

Gue bimbang. Disatu sisi gue percaya dia benar dgn segala bukti yg gue tau. Di sisi lain gue kesal tanpa alasan yg ga bisa gue jelasin. Entah apa yg harus gue perbuat, gue masih ga ngerti. Kejadian ini terjadi begitu cepat sampai - sampai gue sulit menerima kenyataan ini.

"Mihel! Cepat! Kita harus segera keluar dari sini"

Gue masih bimbang.

Reina kehilangan kesabaran, dia menarik tangan gue. Dia setengah berlari menyeret gue dalam kegelapan malam. Gue mulai mendengar langkah kaki lain. Lebih dari satu orang. Apakah mereka yg dimaksud Reina? Kaki gue terasa berat, gue masih tetap bimbang. Kami semakin tidak menentu akan kemana. Langkah kaki pembunuh itu semakin jelas terdengar. Suara nafas Reina terpongoh - pongoh. Dia terjatuh, gue tetap berdiri dalam keheningan. Suara serangga pedam dalam nafas Reina yg begitu lelah.

"Mihel!" Bentak Reina.
"Y..ya?"
"Lo kenapa? Masih ga percaya? Tolong Mihel, gue yakin bgt mereka udah membunuh penjaga tempat ini"

Gue terdiam, Reina berusaha bangkit dari jatuhnya. Tangannya yg halus mendarat di pipi gue begitu keras.

"Kalo lo ga bisa terima kenyataan, lo ga akan pernah tau arti hidup. Memang susah, tapi dunia ini begitu luas, banyak misteri yg mau ga mau lo harus percaya, juga kehadiran gue"

Gue masih bimbang, tapi tatapan gue menjadi tajam menatap mata Reina. Gue masih bertanya - tanya. Benarkah harus gue percaya? Dunia fantasi, rasanya ini hanya ada dalam kisah karangan. Reina, benarkah harus gue percaya?

Tatapan Reina semakin dalam ke arah gue. Gue bisa tau dia fokus sama gue. Dia normal sekarang. Didalam kegelapan semi-hutan itu mata kami bertatapan. Reina kemudian mendekati gue, dia perlahan mendekat. Di mata gue terlihat seperti gerakan slow motion saat dia memeluk gue.

"Lo, biarpun lo orang yg baru gue temuin, lo bisa ubah hidup gue Hel. Sifat lo yg cuek, tapi kata - kata lo tepat. Gue bisa tenang ketika lo bentak gue untuk fokus, gue ga takut lg dgn clairaudience. Gue bisa kontrol itu"

Airmata menetes di dada gue. Reina hanya setinggi leher gue. Kurang lebih 165 cm. Langkah kaki yg bergerak tadi semakin jelas. Tapi gue ga bisa pastiin ada dimana. Rasanya Reina sedang fokus terhadap diri gue. Dia sama sekali tidak merespon apapun. Dan suara tembakan meletus, entah darimana asalnya. Reina berteriak.

"Re..Reina!"

Tubuh Reina merosot dari pelukannya. Ketika gue berusaha mendekapnya, kaus katun yg dipakainya begitu licin. Gue memperhatikan tangan gue, darah. Darah. Gue menangkap tubuh Reina sebelum jatuh ke tanah. Punggungnya berlumuran darah. Dari arah depan, suara langkah kaki pembunuh itu makin jelas. Mereka datang kearah gue dgn sebuah senter kecil. Sementara gue masih berlutut memegangi Reina, dia koma.

"Ck, ternyata orang ya. Gue pikir beruang"
"Dua kali, penjaga itu juga bodoh. Tidak mgkn di tempat seperti ini tidak ada buruan. Dia malah tidak mengizinkan kita masuk"
"Tapi baguslah dia sudah mati. Tempat ini bagus juga untuk di jadikan Resort"
"Hei lihatlah apa yg kita dapat! Sepasang muda - mudi menikmati malam di tempat seperti ini"

Gue menatap tajam pada dua orang pembunuh itu. Emosi gue meluap. Pembunuh itu memakai topi rajutan, wajahnya besar dgn senapan angin. Setengah baya dgn jaket kulit tebal. Badannya tinggi kurus. Yg satu lagi agak gemuk, sepertinya dia seorang pengusaha dilihat dari jaket merahnya dan jam tangan mewah yg terlihat begitu jelas seakan dia mau pamer. Gue ga punya apa - apa, gue ga tau harus apa.

"Mau sekalian dibunuh?"
"Sudah pasti, mana bisa dibiarkan ada bukti bergerak. Mayatnya kita buang ke danau saja"

Kedua pembunuh itu mendekat dgn moncong senapan diarahkan pada kepala gue. Apa yg harus gue lakukan? Gue begitu lemah. Rasanya nyawa gue sudah sampai batasnya. Haha, bodohnya gue. Kalo gue sadar dan percaya kata - kata Reina lebih cepat kemungkinan ini bisa dihindari.

Gue hanya tersenyum melihat moncong senapan makin dekat. Lari? Tidak akan sempat. Reina masih dalam gendongan gue. Gue merasakan tangannya bergerak di belakang punggung gue, dia siuman. Dia berkata pelan.

"La..lari dan menjauh"

Gue ga mengerti apa maksudnya. Gue hanya bertaruh pada yg dia katakan. Debar jantung gue makin cepat, pelatuk tokalev mulai di tekan. Reina dgn sekuat tenaga melempar batu ke arah pembunuh itu. Tepat ke arah mata. Tidak semuanya batu, pasir halus bercampur tanah kering. Pembunuh dgn moncong senapan itu terlihat jengkel dan matanya kemasukan debu. Gue segera menerjang maju menabrak pembunuh yg satunya lagi. Badan gue cukup membuatnya jatuh. Gue berlari secepat mgkn, pembunuh itu tetap mengejar.

Nafas gue mulai tersengal, gue masih ga tau ke arah mana harus menuju jalan keluar. Reina tampak semakin siuman, dia mulai berbicara tapi gue tau itu justru membuat darahnya semakin banyak keluar. Gue merasakan dari tangan gue yg mengendong dia. Penuh darah yg mengalir.

"Lurus terus" Kata Reina tersengal
"Cukup, jgn bicara lagi. Biar gue aja"

Gue mengkhawatirkan kondisi Reina. Suara senapan makin jelas. Pembunuh itu makin tidak sabar dgn nyawa kami berdua.

"Ke kanan Hel, sebentar lagi kita tiba diluar"

Gue mengikuti instruksi Reina. Menyebalkan, gue ditolong seorang gadis. Gue lemah. Gue makin kesal dgn diri gue.

Gue bisa melihat cahaya jalan. Suara kendaraan yg lalu lalang dijalan depan tempat ini juga makin jelas. Sayang, kaki gue terantuk batu. Reina terjatuh dari gendongan gue. Dia terpental di depan gue.

Gue kehabisan nafas. Ini batas gue. Tamatlah sudah. Pembunuh itu makin dekat, suara senapannya makin mengebu. Apa yg harus gue lakukan? Bagaimana ini? Tidak, gue ga mau mati sekarang.

"Mihel, kuat lah! Tenangkan pikiran lo. Fokus untuk menghadapi ini semua." Reina berkata dgn tertatih - tatih.

Air mata gue seakan mau mengalir keluar. 'Fokus', kata - kata yg gue bilang kepada Reina untuk mengalahkan rasa takutnya saat di bis. Sekarang kata - kata gue dibalikin, bodohnya gue.

Gue menyeka air mata yg masih tertahan di ujung mata. Menarik nafas dgn segenap tenaga dan membuangnya dgn tenang. Gue memusatkan pikiran sejenak untuk berpikir. Mencari solusi di tengah kegelapan ini.

Reina...Pembunuh...Clairaudience...Batu...Jalanan...Jatuh...Lari...Jalan...Ketakutan...Jauh...Gema. Kata - kata itu berputar dikepala gue. Gue mendapat sebuah rencana. Gue menuju arah Reina, berjongkok untuk mengendongnya. Nafas gue udah semakin nyesak, oksigen gue terhisap oleh pohon - pohon yg menjulang tinggi. Handphone, gue mengeluarkan handphone dan melihat jam. Jam 8 malam. Ga ada sinyal, percuma minta pertolongan.

"Reina, gue mohon bantuan lo. Tapi dgn bantuan lo gue masih mgkn bertaruh nyawa kita berdua" Kata gue dgn nafas tersengal.

Reina hanya mengangguk, dia banyak kehabisan darah. Nyawanya terancam. Gue sadar, ini udah batas terakhir dari kami berdua. Gue mengumpulkan kerikil kecil di tanah. Semakin gue tenang, suara langkah kaki pembunuh itu semakin dekat. Jantung gue berdebar semakin cepat, lebih cepat dari pada saat berolahraga. Gue terus menarik nafas dan membuangnya perlahan. Sementara nafas Reina terdengar semakin pendek di balik punggung gue.

"Ketemu!!!" Senyum pembunuh bertopi rajutan
"Bunuh, tembak mereka!!!!" Perintah pembunuh berbadan besar

Moncong senapan sudah siap, gue mencoba untuk tenang. Ini pertaruhan gue.

"Tunggu!" Seru gue.
"Kalian mau membunuh kami kan? Apa kalian tidak mendengar suara yg semakin mendekat?"

Kedua pembunuh itu terdiam sejenak.

"Apa maksud lo bocah???" Tanya pembunuh berbadan besar
"Suara setan semi-hutan ini. Dan juga sirene polisi"
"Hah?! Lo mau mengimbuli kami?" Seru pembunuh bertopi rajutan
"Gue punya pendengaran yg tajam lho"
"Persetan!!! Tembak dia!!!" Perintah pembunuh berbadan besar

Dan moncong senapan pun siap dihadapan gue dan Reina. Gue bersiap dgn genggaman gue.

"DOOR!!!"
"Arrrggggghhhhhh. Bocah sialan. Mata gue!!! Kurang ajar"

Kedua pembunuh itu mengerang kesakitan. Tepat sesaat sebelum menekan pelatuk gue melempar kerikil yg gue kumpulkan tadi. Berhasil, satu pertaruhan. Tembakan pembunuh itu hanya mengenai tanah. Hanya sekitar 10 cm dari tempat gue berdiri. Kesempatan ini tidak gue biarkan percuma. Gue berlari keluar.

Sayang, kedua pembunuh itu langsung bereaksi dgn suara langkah kaki gue. Mereka mengejar begitu cepat. Gue sengaja membuang waktu dgn tenaga tersisa. Memutar ke arah lain yg tidak semestinya gue lewati. Jalan yg lebih panjang dan membawa gue pada jalan keluar. Ya, jalan raya yg sangat sepi. Entah ini benar atau salah, gue hanya bertaruh. Gue ga punya ksempatan berlari lebih jauh lagi. Kalopun gue menuju tempat terdekat, pembunuh itu akan menangkap gue atau bahkan menembak pada jalan yg terang.

Gue sampai di jalan raya yg sepi. Jalan yg hanya dilewati beberapa kendaraan tapi dgn kecepatan di atas 60 km/jam. Jalan ini gue tahu krn gue pernah main kesini bbrp waktu yg lalu. Kesadaran Reina sudah semakin tipis, tapi gue sadar detak jantungnya masih berdegup.

"Reina, bisa dengar gue kan? Kita bertaruh disini. Fokus kan pendengaran lo. Clairaudience, sixth sense lo. Dengarkan suara kendaraan yg lewat. Gue yakin masih agak lama, tapi gue mohon jgn lepas sedetikpun sampai lo jatuh" Gue berkata dgn sisa tenaga yg tersisa dan berdiri di pinggir jalan.

Reina hanya mengangguk. "Gue percayakan semuanya sama lo Hel. Gue percaya lo yg terbaik"

Gue masih menunggu keajaiban. Ini pertaruhan terkhir gue. Meloncat ke jalan ketika ada mobil bersama para pembunuh itu. Tentu kalo mereka mati akan di anggap sbg kecelakaan semata. Tapi, kalo gue yg mati? haha, gue tertawa ragu. Ya kalo gue yg mati, maka berakhir sudah. Gue menanggung dua nyawa, mgkn gue akan masuk neraka terbawah bersama dosa gue membunuh Reina. Sial, tapi ini pertaruhan.

"Mihel, suara mobil. Sangat cepat. Dan...dan suara langkah kaki pembunuh itu semakin dekat" Reina berkata, dia mencoba tenang tapi sangat jelas dia sangat ketakutan
"Ya, bagus. Kita bertaruh disini" Dan gue pun berdiri di tengah jalan raya satu arah dgn lebar sekitar 3 meter itu.
"Mihel, suara truk. Besar sekali. Sekitar 10 detik lagi. Sangat cepat"
"Haha, mati lo berdua!" Kata pembunuh bertubuh besar
"Maju kalo berani. Tembak dan lubangi kepala gue" Tantang gue.
"Berani juga lo bocah. Siap lo jemput ajal lo"

Gue segara menjongkok, menyerahkan diri untuk penghabisan terakhir. Gue memandangi jalan lurus. Kedua pembunuh itu mendekat hingga berjarak 30 cm di depan gue dgn senapan.

"Mihel!!!" Bisik Reina setengah berteriak yg terdengar pelan sekali

"Tiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnn"
"Bruagh"

Dan truk besar pun menghantam tubuh pembunuh itu. Gue dan Reina berhasil melompat seberang jalan dari posisi berjongkok. Hanya ini harus dibayar dgn kaki gue yg sempat terlindas truk besar itu. Gue sempat melihat bulan di malam itu sebelum gue memejamkan mata.


............................................................................................................


"....................." Gue membuka mata. Bau rumah sakit, bau infus.

Rupanya gue ada di rumah sakit. Entah siapa yg menolong gue.

Reina? Gue beranjak dari tempat tidur, kepala gue menoleh ke kanan dan kekiri mencari Reina. Pintu ruangan gue di rawat terbuka.

"Sudah sadar?" Bokap gue berkata pelan
"Maaf Pa. Ini salah aku"
"Bodoh, lain kali kalo mau jalan tuh siapain peralatan yg penting dulu. Kamu mau gagal masuk universitas?"

Gue hanya diam.

"Maafkan aku Pa"
"Oia, dimana Reina? Dimana cewek yg bersamaku saat kecelakaan? Dan kenapa aku bisa di sini?" Tanya gue penasaran
"Cewek itu di ruang lain. dia mengalami pendarahan yg parah. Berterima kasihlah pada pengemudi truk itu. Dia bilang kamu mau di tembak orang. Pengemudi itu melihat dan membela kamu dan cewek itu. Dia tidak menuntut apapun dan menganngap hanya kecelakaan tanpa unsur bunuh diri. Yah walopun truknya banyak yg rusak. Pengemudi itu membawa lo ke rumah sakit terdekat dgn truknya yg rusak dan pihak rumah sakit segera menghubungi Papa"
"Dimana Reina? Di ruang berapa?"
"Kamar 331, tepat diatas ruangan kamu"

Gue segera beranjak dari ranjang dan membawa infus. Gue berjalan agak payah, kaki gue masih luka.

"Mau kemana kamu?" Bokap menghalangi di pintu masuk"
"Ke kamar Reina. Permisi Pa"

Bokap gue melepaskan begitu saja. Dia tersenyum kecil melihat gue. Gue langsung menuju lantai atas. Kamar 331. Reina, saat dia hanya dia yg gue pikirkan. Entah apa jadinya kalo dia ga ada. Nyawa gue ga ada disini.

Gue membuka pintu, Reina hanya sendiri. Dia masih tidur. Suster yg masuk untuk mengecek Reina melihat gue dan tetap melaksanakan tugasnya.

"Bagaimana keadaannya Sus?"
"Sudah lebih baik setelah di operasi. Anda siapanya? tampaknya Anda juga pasien"
"Ya Sus, saya juga pasien. Saya kakaknya. Saya hanya menengok Dia"
'Baiklah, tapi jgn lama" ya. Anda jg butuh perawatan"
"Baik Sus"
"Permisi"

Suster itu keluar dari ruangan. Hanya gue dan Reina. Gue mendekat ke ranjang Reina tempat dia berbarinng.

"Entah ini takdir atau kecelakaan semata. Satu sisi gue ga suka sama lo. Tapi sejak pertama kali gue lihat senyum lo gue suka sama lo. Tadinya gue pikir ini hanya nafsu sesaat. Tapi ga bisa bohong, gue selalu khawatir sama lo. Lo ada di mimpi gue"
"Fokus dan percaya, gue belajar itu dari lo Rein, gue selalu gegabah dan ga tenang. Kata yg gue keluarkan buat lo di bis malah jadi bumerang buat gue sendiri. Lalu, ketika gue ga bisa percaya sama lo -krn sixth sense lo- itu malah yg jadi hal yg gue lakuin sbelum kita berada di rumah sakit ini."

Reina perlahan membuka mata. Gue hanya bisa memandangi langit siang. Entah berapa lama gue di beri perawatan di rumah sakit ini. Kadang gue melirik Reina yg perlahan matanya semakin terbuka lebar.

"Gue denger kata - kata lo Hel, gue juga sama"

Gue meneteskan air mata. "Gue pikir kita ga selamat"

"Gue juga, tapi gue percaya sama lo Hel. Gue jg suka sama lo"
"Apa lo menerima gue sbg cowok lo?"
"Ya"
"Rasanya gue belajar hal baru. Kepercayaan dan menyayangi. Gue pikir gue bisa menerima clairaudience lo"
"Terima kasih ya"
"Tapi sepertinya gue ga akan bisa selingkuh dekat - dekat nih. hahah" Canda gue.
"Huh!"
"Hahahah, bercanda. Gue buka gorden ya. Liat matahari siang jg kadang bagus lho"

Reina hanya tersenyum. Ini kisah gue bersama gadis clairaudience. Terik matahari hari siang memberi gue semangat. Semangat untuk mencintai dan menerima apapun terhadap orang yg gue sayang. Reina, gue ga peduli ini takdir atau bukan. Ini jalan yg gue pilih. Dan di saat gue memilih jalan itu, jalan Reina bertemu dgn jalan gue. Clairaudience, mgkn lebih banyak hal yg jauh lebih aneh dan mgkn ga bisa gue percaya. Tapi inilah dunia. Misteri dan penuh teka - teki.

Apapun itu, semuanya berakhir di siang hari ini. Gue dan Reina.

------------------------------------TAMAT----------------------



0 Comments

Copyright © 2009 Shemispeaks All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.